Sejarah Perbatasan Leonai (Manusasi)-Sub Distrik Ambenu (Timor Leste)

🤝🤝🤗
 
Sejarah penyelesaian sengketa perbatasan melalui budaya atau kearifan lokal dimulai pada tahun 1700an, pada saat itu terjadi kawin mawin antara Raja Oekusi yang bernama Tua Amu dengan anak Raja Uskono (Raja Miomaffo) bernama Sani Uskono, dari perkawinan tersebut Raja Uskono memberikan/menyerahkan lahan garapan/berkebun dari Noel Kol Unu (Kali Burung Tekukur) sampai dengan Aijaouskono (pohon cemara yang terdapat tumpukan batu).
 
Kemudian terjadi perkawina
kedua yang dilakukan Putra Raja Oekusi (Tua Amu) dengan Putri Raja Uskono yang bernama Kusi Kono pada tahun 1700an. Dari perkawinan tersebut, Raja Uskono memberikan lagi lahan garapan/Kebun dari Aijaouskono (pohon cemara yang ada tumpukan batu) sampai dengan Hue La Fatu (Pohon Kayu Putih yang menjepit batu). 

Pada pertemuan Raja Uskono dan Raja Oekusi yang bertempat di Hue La Fatu (pohon kayu putih yang menjepit batu) menghasilkan kesepakatan bahwa Sani Kono dan Kusi Kono yang kini menikah dengan Raja Oekusi melakukan kegiatan berlahan atau berkebun sampai dengan Hue La Fatu (pohon putih yang menjepit batu).

Atas hasil kesepakatan tersebut maka Hue La Fatu (pohon putih yang menjepit batu) berubah nama menjadi Hue Talpah (Pohon batas tanah) yaitu batas tanah berkebun antara Raja Oekusi dan Raja Miomaffo. Perjanjian tersebut yang disaksikan oleh empat orang saksi yaitu dua orang dari Oekusi bernama Seok Enid dan Saef Seko sedangkan pihak Leonain yaitu Seko Fai dengan Neno Olen.


Pada tahun 1893 seoarang warga dari Miomaffo bernama Kono Lake membunuh warga Oekusi bernama Ulan Tule dikarenakan mencuri Kayu Cendana di Oelnasi.

Atas kejadian tersebut Kono Lake yang merupakan warga Kerajaan Miomaffo di denda secara adat dengan memberikan tanah dari Hue Talpah (pohon putih batas tanah) sampai dengan Hau Ampupu (Pohon pinus) dengan ketentuan tanah yang dikasi hanya untuk berlahan atau berkebun selama delapan tahun yaitu tahun  1893 sampai dengan tahun 1901 dengan kesepakatan  kedua belah pihak memberikan cap pada Hau Ampupu (pohon pinus) yang kemudian disebut Ampup Malak (pohon pinus yang diberikan cap) sebagai tanda batas lahan garapan dan penyerahan uang perak oleh kedua belah pihak dengan ketentuan setelah delapan tahun, tanah tersebut dikembalikan kepada masyarakat Leonai Kerajaan Miomaffo.

Kesepakatan tersebut disaksikan oleh satu orang dari Oekusi-Ambenu bernama Uklua Tanesib dan satu orang dari Kerajaan Miomaffo bernama Oba Fai.

Dengan berjalannya waktu perjanjian tersebut dilanganggar oleh warga Ambenu Oekusi dengan tidak menyerahkan kembali tanah tersebut kepada kerajaan Miomaffo sehingga menimbukan konflik.
 
Konflik tersebut berlanjut hingga tahun 1963, terjadi perebutan lahan, pihak Ambenu Oeksui ingin menggeser garis batas yang telah disepakati bersama, namun masyarakat Leonai tetap mempertahankan wilayahnya, akibatnya warga Ambenu-Oekusi bernama Sufa Soni membunuh Fuka Anunut warga Leonain dan korban luka-luka yang dialami warga Leonain. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cinta Sendirian💔

Kita Tidak Sedang Berlomba

Pelantikan Rektor, dan Wakil-wakil Rektor Universitas Citra Bangsa (UCB) Kupang